Night World!
Posting pertama di tahun 2012. Mudah-mudahan bermanfaat J
“ SELEMBAR UANG “
Langkah demi langkah ku jalani tanpa ada pikiran sedikitpun menuju sekolah. ku berjalan dibawah hangatnya sinar mentari yang menghangatkanku. Karena memang jarak antara rumah dan sekolahku tidak begitu jauh. Dan setelah ku pikir pikir kembali, ternyata jalan kaki itu selain hemat juga menyehatkan kakiku. Sambil tersenyum, ku sapa setiap orang yang bertemu denganku. Begitu halnya dengan Bu Warni si pemilik toko di samping sekolahku, yang rutin setiap paginya ku sapa.
“pagi bu! J”sapaku
“pagi nak!”terlihat sebercik cahaya mentari yang menyinari matanya begitu indah.
Bu Warni adalah janda berkepala empat yang hidup sebatangkara karena ditinggal suaminya meninggal tanpa dibuahi anak satupun. Hanya toko itulah satu-satunya peninggalan suami bu Warni yang membuat ia semangat untuk tetap tersenyum. Aku merasa kagum kepadanya. Dia adalah sosok wanita yang sangat tegar. Karena, tak sedikit pun kesedihan yang terpancar dari raut wajahnya. Kesedihan yang begitu mendalam, seakan akan ia tutupi dengan sejuta senyuman.
“permisi ya bu?”kataku kemudian
“oh iya nak, silahkan!”jawabnya.
Aku pun tersenyum dan melanjutkan langkahku menuju sekolah. Saat asyik berjalan tak jauh dari toko bu Warni, tiba-tiba langkahku terhenti ketika ada sesuatu yang hinggap di dalam pikiranku.
“apa ya?”pikirku kebingungan
Dan tak lama kemudian aku pun ingat.
“astaga! Uang! Aku lupa membawa uang! Aduh, bagimana ini?” gerutuku dalam hati.
Aku pun mulai panik. Dan dengan perasaan yang resah, gelisah, dan gundah ku periksa kembali saku rok, baju, dan kantong tasku. Ternyata benar, tak sepeser uang pun yang ku temukan. Dan aku pun mulai berpikir.
“apabila ku kembali kerumah dan mengambil uang, aku pasti akan terlambat. Dan aku sangat tidak mau itu terjadi. Tapi apabila aku melanjutkan lagkahku kedepan dengan tidak membawa uang sepeser pun, bagaiman dengan iuran kelompok yang harus ku lunasi? “
Tak jauh dari lokas tempat aku berdiri, sekitar 3 m tepat dihadapanku. Aku melihat ada selembar kertas. Dan aku pun menghampirinya. Kertas itu rupanya seperti uang berwarna merah muda dengan bertuliskan “dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, Bank Indonesia mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai seratus ribu rupiah”
“oh no!”sontakku terkejut
Dan tanpa berpikir panjang lagi, ku injak uang itu. Dan setelah keadaan di sekelilingku terlihat sepi, barulah ku bergegas mengambi uang yang sangat berharga itu mengingat pelitnya orang tua ku belakangan ini.
“wah! Sepertinya hari ini adalah hari keberuntunganku.”gumamku dalam hati.
Dan dengan wajah yang berseri-seri, ku langkahkan kembali kakiku dengan penuh senyuman. Dan sesampainya di sekolah, tak lupa ku ceritakan keberuntunganku itu kepada salah satu temanku, Dina.
“hah? Serius? Kamu menemukan uang itu dimana?”terkejutnya ia setelah mendengar ceritaku itu.
“aku menemukannya di jalan tak jauh dari toko bu Warni, Din!”jelasku kepadanya.
“ya ampun Dewi, seratus ribu itu kan bukan uang yang sedikit?” katanya
“maka dari itu aku namakan hari ini sebagai hari keberuntunganku. Kebetulan sekali, hari ini aku lupa membawa uang, Din!” jawabku senang.
“tapi Wi, seharusnya kamu jangan mengambil uang itu! Nanti kamu dosa lho!”terus Dina menakut nakuti ku.
“loh? Memangnya mengapa Din?” tanyaku heran
“kamu tidak berhak mengambil uang itu. Karena uang itu bukan punyamu. Dan kamu tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan milikmu. Bagaimana perasaanmu jika kamu menjadi si pemilik uang itu dan kamu mengetahui bahwa uangmu yang nominalnya lumayan besar itu pun hilang, sedangkan disisi lain kau sangat membutuhkannya? Sedih, bukan?” nasehat Dina panjang lebar.
“kamu benar, Din. Aku pasti akan merasa sedih. L” sadarku lirih.
“ya sudah, sebaiknya kau pergi ke masjid. Lalu kau masukan saja uang itu kedalam kotak amal. Tak mungkin apabila kita cari pemilik uang itu. Karena kau temukan uang itu di tempat yang cukup ramai. Nah, setelah itu bergegaslah shalat duha dan berdoalah agar pemilik uang itu di berikan rezeki yang lebih” saran Dina kepadaku.
“tapi Din? Bagaimana dengan iuran kelompok kita yang harus ku bayar?” pikirku kemudian
“tenang saja, jangan terlalu kau pikirkan. Kau boleh membayarnya besok.”
“oh terima kasih, Din!”
“iya sama sama!”
Setelah Dina memberikan saran tersebut, dengan tidak membuang buang waktu lagi aku pun pergi ke masjid untuk memasukan selembar uang yang ku temukan kedalam kotak amal. Dan semenjak saat itu, aku sadar bahwa aku tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan milikku. Karena aku tidak berhak, walaupun aku sangat membutuhkannya.
Pengarang :
Dewi Suharyanti
Terima Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar